Sabtu, 22 September 2018



OLEH:HENDRI MARDIKA

Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 15P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni 2009 telah menimbulkan beragam tanggapan baik pro maupun kontra serta kritikan tajam dari berbagai pihak. Putusan MA tersebut mengabulkan permohonan para pemohon dengan menyatakan Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan KPU No. 15/2009 bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang PEMILU, sehingga tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.Beragam tanggapan ini sangat lumrah mengingat putusan MA tersebut berdampak besar terhadap perolehan kursi partai-partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Putusan MA mengakibatkan beberapa partai, umumnya parta menengah dan kecil menjadi kehilangan suara yang cukup signifikan.Menurut analisa CETRO, jika putusan MA ini dilaksanakan maka perolehan kursi partai berubah, Demokrat yang awalnya memperoleh 150 berubah menjadi 180 kursi, PDIP 95 menjadi 111 kursi, Golkar 107 menjadi 125 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 27 menjadi 29 kursi, dan PPP 37 menjadi 21 kursi. Kemudian, Partai Amanat Nasional dari 43 kursi menjadi 28 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 57 menjadi 50 kursi, Gerindra 26 menjadi 10 kursi, dan Hanura 18 menjadi 6 kursi.
Walapun demikian, putusan MA tentang judicial review harus tetap dilaksanakan. Terdapat beberapa alasan, pertama, menurut konstitusi, judicial review memang merupakan wewenang Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD Negara Indonesia dinyatakan, bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.Disamping itu perlu diingat, putusan judicial review bersifat final dan mengikat (binding). Jadi tidak ada upaya hukum atas putusan judicial review MA. Ada sementara pihak yang menganjurkan partai-partai untuk melakukan peninjauan kembali (PK) atas judicial review ini. Namun hal ini tidaklah tepat, sebab pada dasarnya tidak dikenal adanya upaya hukum atas judicial review. Sementara itu, PK hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara yang sebelumnya telah diputus oleh peradilan-peradilan di bawah MA dan telah berkekuatan hukum tetap.
Terdapat syarat tertentu agar suatu perkara dapat dilakukan peninjauan kembali, diantaranya: 1) putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut ternyata didasarkan pada bukti-bukti yang palsu; 2) terdapat kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum dan menjatuhkan putusannnya; 3) terdapat bukti-bukti baru (novum) yang ditemukan dan belum diajukan dalam persidangan, dimana bukti ini sebenarnya telah ada saat proses persidangan berlangsung; 4) hakim menjatuhkan putusan lebih dari apa yang diminta oleh pihak yang berperkara.Melakukan penolakan terhadap putusan judicial review MA dengan tidak menjalankan putusan atau melakukan manuver politik tertentu dengan tujuan membatalkan putusan adalah hal yang tidak patut dilakukan. Harus diingat bahwa bangsa Indonesia bersendikan hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) konstitusi dinyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Berdasarkan hal tersebut, sudah sepantasnya semua pihak menghargai dan menjunjung tinggi hukum.
Putusan yang dihasilkan oleh MA sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman (disamping MK) juga merupakan hukum yang harus dihargai. Jika tidak, maka sebagai bangsa kita akan dicatat sebagai pihak yang tidak menghargai konstitusi dan hukum bangsa sendiri.Apabila partai-partai memang tidak puas dan berkeberatan dengan putusan MA tersebut, masih ada jalan hukum yang dapat ditempuh. Hal pertama yang dilakukan adalah KPU harus segera menjalan putusan MA yang telah final dan berkekuatan hukum tetap.  Dengan adanya penetapan KPU yang baru ini (sudah pasti tidak diterima sebagian partai dan calon anggota legislative), maka partai-partai yang tidak menerima hasil penetapan KPU, segera mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).Penetapan perolehan kursi oleh KPU yang tidak diterima oleh sebagian partai dan calon anggota legislative merupakan sengketa hasil pemilu yang penyelesaiannya harus melalui MK. Dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD Negara Indonesia 1945 dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kita berharap, semoga dengan diputuskannya perkara ini melalui MK, kemelut partai-partai politik yang merasa haknya diabaikan atau terampas akan dapat diselesaikan dengan baik. Bagaimanapun juga harus disadari, walaupun implikasi putusan MA tentang judisial review ini berdampak luas, tidak hanya pada perolehan kursi partai-partai di DPR namun juga pada proses pemilu tahap selanjutnya. Penolakan atau ketidakpuasan terhadap putusan MA, tidak boleh menjadikan kita mengabaikan prinsip negara hukum yang dimiliki bangsa ini.Peristiwa ini juga dapat menjadi titik tolak bagi berbaikan sistem peradilan secara menyeluruh. Tidak ada kata lain, setiap unsur MA dan peradilan di bawahnya, termasuk juga MK harus berbenah diri. Karena pada dasarnya, tidak ada harapan lain bagi rakyat Indonesia, selain hasil pemilu ini benar-benar nantinya membawa kemajuan dan perubahan yang lebih baik bagi nasib rakyat dan bangsa Indonesia.