judicial review, judicial review
mahkamah agung, mahkamah agung, peraturan kpu, Peraturan KPU
No. 15/2009, putusan MA sengketa
pemilu, uji materi
peraturan kpu, upaya hukum
judicial review
OLEH:HENDRI MARDIKA
Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 15P/HUM/2009 tertanggal 18 Juni
2009 telah menimbulkan beragam tanggapan baik pro maupun kontra serta kritikan
tajam dari berbagai pihak. Putusan MA tersebut mengabulkan permohonan para
pemohon dengan menyatakan Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3)
Peraturan KPU No. 15/2009 bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang
No. 10 Tahun 2008 tentang PEMILU, sehingga tidak sah dan tidak berlaku untuk
umum.Beragam tanggapan ini sangat lumrah mengingat putusan MA tersebut
berdampak besar terhadap perolehan kursi partai-partai di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Putusan MA mengakibatkan beberapa partai, umumnya parta menengah
dan kecil menjadi kehilangan suara yang cukup signifikan.Menurut analisa CETRO,
jika putusan MA ini dilaksanakan maka perolehan kursi partai berubah, Demokrat
yang awalnya memperoleh 150 berubah menjadi 180 kursi, PDIP 95 menjadi 111
kursi, Golkar 107 menjadi 125 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 27 menjadi 29
kursi, dan PPP 37 menjadi 21 kursi. Kemudian, Partai Amanat Nasional dari 43
kursi menjadi 28 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 57 menjadi 50 kursi, Gerindra
26 menjadi 10 kursi, dan Hanura 18 menjadi 6 kursi.
Walapun demikian, putusan MA tentang judicial review harus tetap
dilaksanakan. Terdapat beberapa alasan, pertama, menurut konstitusi, judicial
review memang merupakan wewenang Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD
Negara Indonesia dinyatakan, bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.Disamping itu perlu diingat, putusan judicial review bersifat
final dan mengikat (binding). Jadi tidak ada upaya hukum atas putusan judicial
review MA. Ada sementara pihak yang menganjurkan partai-partai untuk melakukan
peninjauan kembali (PK) atas judicial review ini. Namun hal ini tidaklah tepat,
sebab pada dasarnya tidak dikenal adanya upaya hukum atas judicial review.
Sementara itu, PK hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara yang
sebelumnya telah diputus oleh peradilan-peradilan di bawah MA dan telah
berkekuatan hukum tetap.
Terdapat syarat tertentu agar suatu perkara dapat dilakukan
peninjauan kembali, diantaranya: 1) putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
tersebut ternyata didasarkan pada bukti-bukti yang palsu; 2) terdapat
kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum dan menjatuhkan
putusannnya; 3) terdapat bukti-bukti baru (novum) yang ditemukan dan belum
diajukan dalam persidangan, dimana bukti ini sebenarnya telah ada saat proses
persidangan berlangsung; 4) hakim menjatuhkan putusan lebih dari apa yang
diminta oleh pihak yang berperkara.Melakukan penolakan terhadap putusan
judicial review MA dengan tidak menjalankan putusan atau melakukan manuver
politik tertentu dengan tujuan membatalkan putusan adalah hal yang tidak patut
dilakukan. Harus diingat bahwa bangsa Indonesia bersendikan hukum. Dalam Pasal
1 ayat (3) konstitusi dinyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Hukum. Berdasarkan hal tersebut, sudah sepantasnya semua pihak
menghargai dan menjunjung tinggi hukum.
Putusan yang dihasilkan oleh MA sebagai salah satu pemegang
kekuasaan kehakiman (disamping MK) juga merupakan hukum yang harus dihargai.
Jika tidak, maka sebagai bangsa kita akan dicatat sebagai pihak yang tidak
menghargai konstitusi dan hukum bangsa sendiri.Apabila partai-partai memang
tidak puas dan berkeberatan dengan putusan MA tersebut, masih ada jalan hukum
yang dapat ditempuh. Hal pertama yang dilakukan adalah KPU harus segera
menjalan putusan MA yang telah final dan berkekuatan hukum tetap. Dengan
adanya penetapan KPU yang baru ini (sudah pasti tidak diterima sebagian partai
dan calon anggota legislative), maka partai-partai yang tidak menerima hasil
penetapan KPU, segera mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).Penetapan
perolehan kursi oleh KPU yang tidak diterima oleh sebagian partai dan calon
anggota legislative merupakan sengketa hasil pemilu yang penyelesaiannya harus
melalui MK. Dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD Negara Indonesia 1945 dinyatakan,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kita berharap, semoga dengan diputuskannya perkara ini melalui
MK, kemelut partai-partai politik yang merasa haknya diabaikan atau terampas
akan dapat diselesaikan dengan baik. Bagaimanapun juga harus disadari, walaupun
implikasi putusan MA tentang judisial review ini berdampak luas, tidak hanya
pada perolehan kursi partai-partai di DPR namun juga pada proses pemilu tahap
selanjutnya. Penolakan atau ketidakpuasan terhadap putusan MA, tidak boleh
menjadikan kita mengabaikan prinsip negara hukum yang dimiliki bangsa ini.Peristiwa
ini juga dapat menjadi titik tolak bagi berbaikan sistem peradilan secara
menyeluruh. Tidak ada kata lain, setiap unsur MA dan peradilan di bawahnya,
termasuk juga MK harus berbenah diri. Karena pada dasarnya, tidak ada harapan
lain bagi rakyat Indonesia, selain hasil pemilu ini benar-benar nantinya
membawa kemajuan dan perubahan yang lebih baik bagi nasib rakyat dan bangsa
Indonesia.